Oleh : Mohammad Ali
Diawal bulan juli lalu saya melakukan perjalanan ke kota Makassar untuk keperluan keluarga, karena memang keluarga saya berasal dari daerah sana. Cukup lama juga tidak mengunjungi tempat kelahiran orang tua saya. Pada perjalanan kali ini, selain urusan keluarga, saya sudah meng-agendakan untuk berziarah dan merenung untuk mengambil teladan dari sosok ulama besar pada masanya, Syekh Yusuf al-Makassari. Salah satu tokoh yang, menurut Fathi, kemungkinan bertemu dengan Mbah Muqoyyim (pendiri Buntet Pesantren). Kalau pun tidak bertemu, mereka lahir dari situasi yang sama. Menolak kehidupan mewah ala istana dan lebih memilih merantau untuk mencari ilmu serta berjuang melawan penjajah Belanda.
Matahari sedang berada tepat di atas kepala, Terik yang menyengat. Namun semua seakan tidak berasa dan menjadi penghalang untuk niatan baik. Saya tetap dengan mantap berjalan di bawah terik matahari. Hanya 500 meter letak makam Syekh Yusuf dari tempat yang aku tinggali. Bukan jarak yang berarti. Jarak itu aku tempuh dengan jalan kaki. Dengan tergesa Aku berjalan menyusuri jalanan, bukan karena terik matahari melainkan supaya segera dapat mencurahkan kerinduan pada ulama yang sosoknya aku kagumi ini.
Begitu memasuki komplek pemakaman beliau, saat itu Adzan waktu shalat dhuhur dikumandangkan. Waktu yang tepat. Aku pun segera mengambil wudhu, shalat sunnat tahiyyatul masjid, lalu mengikuti shalat dhuhur berjamaah. Ada rasa baru mengalir deras menyentuh kalbu. Rasa itu adalah energi. Namun aku tidak tahu apa sebenarnya ini. Apa karena lama tidak berjamaah atau karena energi positif dari Syekh Yusuf? Entah lah...
Selesai shalat berjamaah, aku buru-buru menuju makam beliau.
Komplek Makam
Sebagaimana layaknya berziarah, aku pun melakukan hal yang sama. Tawassul, baca yasin, tahlil, dan berdo’a untuk keselamatan kehidupan beliau, diriku, keluargaku dan ummat Islam semua. Batin tiba-tiba menghayal, seandainya kiriman doa itu sebuah kiriman energi, maka menjadi wajar saja tarikan energi dari makam beliau cukup besar. Seandainya tiap hari ada 100 orang berziarah dan berdo’a untuk beliau maka ada 100 energi yang terkirim. Hemm....
Selepas ziarah, aku justru makin penasaran dengan sosok beliau, maka selama berada di Makassar, banyak waktu yang digunakan untuk mencari tahu mengenai sosok beliau. Baik melalui cerita-cerita yang beredar di masyarakat maupun melalui buku-buku. Hasil riset amatiran ini, aku bagi dengan teman-teman semua. Semoga kita bisa mengambil teladan dari beliau.
Syekh Yusuf al-Makassar (3 juli 1626-23 mei 1699)
Silsilah
Terdapat banyak versi cerita yang berkembang di masyarakat terkait dengan silsilah garis keturunan Syekh Yusuf dari garis ayah, sedangkan dari garis ibu, perbedaan itu melebut. Semua sepakat bahwa ibu dari Syekh Yusuf adalah Siti Aminah putri Gallarang Moncong Loe. Syekh Yusuf berasal dari keturunan bangsawan kerajaan Gowa.
Geneologi dan Rihlah Intelektual Syekh Yusuf
Seorang ulama besar tidak mungkin lahir dengan sendirinya, tanpa melalui tempaan-tempaan yang berat. Termasuk tempaan dalam mencari ilmu. Mengetahui guru-gurunya juga sebagai pemetaan jaringan ulama dan corak paham kegamaan yang dikembangkannya. Begitu juga dengan Syekh Yusuf. Di usia belia, beliau berguru pada Daeng ri Tasammang hingga khatam al-Qur’an.
Selepas dari situ, kehausan beliau atas ilmu sudah terlihat. Tidak puas hanya belajar al-Qur’an, beliau pun kemudian mencoba mempelajari Nahwu, Sharaf dan Mantik juga pelajaran kitab-kitab klasik Islam. Namun karena Daeng tidak sanggup memenuhi dahaga ilmunya Syekh Yusuf, maka beliau dianjurkan berguru pada Sayyid Ba’Alwy bin Abdullah al-Allamah Thahir di Bontoala sebagai pusat pendidikan islam tahun 1634. Tidak butuh waktu lama bagi Syekh Yusuf untuk menyerap, menghatamkan, serta mengerti materi dari kitab-kitab Fiqih dan Tauhid. Setelah itu, beliau kemudian belajar pada Syekh Jalaluddin al-Aidit ulama Aceh yang datang melalui Kutai ke Makassar.
Walaupun hidup di lingkungan istana, namun semangat untuk menuntut ilmu tidak padam oleh tawaran-tawaran kehidupan enak ala istana. Di usia yang masih tergolong remaja (18 tahun), beliau berencana menuntut ilmu ke Makkah (saat itu masih menjadi sentral intelektuali dunia Islam).
Sebelum niatan itu terwujud, ada satu adat saat itu yang “harus dipenuhi” oleh Syekh Yusuf sebagai bagian dari keluarga kerajaan, yaitu supaya membekali diri dengan berguru kepada “Para Paku Bumi” di 3 gunung (G. Latimojong wilayah kerajaan Luwu, G. Balusaraung wilayah kerajaan Bone, G. Bawakaraeng wilayah kerajaan Gowa) sebagai puncak 3 kerajaan yang memiliki ciri khas dan tradisi budaya tersendiri.
Tepat pada tanggal 22 September 1644 diusia 18 tahun Yusuf muda berangkat ke Makkah menumpang kapal melayu, Banten adalah persinggahannya pertama sebagai jalur pelayaran niaga pada masa itu. Disini dia berkenalan dan bersahabat dengan Pangeran Surya anak dari Sultan Mufahir Mahmud Abdul Kadir (1598-1650), kemudian dia berangkat ke Aceh dan berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan mendapatkan ijazah tarekat Qadiriyah. lalu melanjutkan perjalanannya ke Timur Tengah untuk melaksanakan ibadah Haji sekaligus berguru dengan ulama disana.
Negeri Yaman adalah persinggahan beliau pertama dan berguru kepada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandy dan berijasah tarekat Naqsayabandi. Lalu ke kota Zubaid berguru kepada Syekh Maulana Sayed Ali al-Baalawiyah berijasah tarekat Baalawiyah. Musim haji pun tiba maka beliau berangkat ke Mekkah. Setelah menunaikan ibadah Haji maka beliau berangkat ke Madinah untuk berguru kepada Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin al-Kurdi al-Kaurani dan memperoleh ijasah tarekat Syattariyah.
Syekh Ibrahim yang juga dikenal dengan nama Mulla Ibrahim, adalah juga guru Syekh Abdurrauf Singkel (masa yg tidak jauh dengan Syekh Yusuf) “dan Syekh Abdurrauf adalah guru Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (Hadjee Karang)”. Dari situ Yusuf muda masih melakukan perjalanan studinya ke Negeri Syam (Damaskus) kepada Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Qurasyi mendapatkan predikat “Summa Cum Laude” bergelar Tajul Khalwati Hadiyatullah. Selain 5 tarekat di atas tercatat juga bahwa beliau mempelajari tarekat Dasuqiyah, Syaziliyah, Hasytiah, Rifaiyah, al-Idrusiyah, Ahmadiyah, Suhrawardiyah, Maulawiyah, Kubrawiyah, Madariyah, Makhduniyah. Disini terkesan beliau memiliki pengetahuan yang tinggi.
Menapaki Jejak Perjuangan Syekh Yusuf
Setelah menganggap selesai melakukan rihlah atau petualangan menuntut ilmu, maka beliau memutuskan untuk “mudik” dan menjadi juru dakwah di Makassar, saat itu usia beliau adalah 38 tahun. Harapan-harapan dan rencana-rencana yang telah disusun untuk dikembangkan di Makassar berantakan, karena sesampainya di kampung halaman, beliau menyaksikan kehancuran kerajaan Gowa pasca kekalahannya perang dengan Belanda, maksiat merajalela dimana-mana, usaha menasehati pihak kesultanan pun tak berhasil. Syekh Yusuf memutuskan untuk hijrah ke Banten yang memang sejak dari Makkah Sultan Banten telah memintanya untuk datang kesana.
Banten telah semarak berbeda dengan 15 tahun yang lalu sejak ia tinggalkan sahabatnya Pangeran Surya telah menjadi Sultan Banten dengan nama Sultan Abdul Fattah yang dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Syekh Yusuf menjadi Mufti kesultanan dan kemudian dinikahkan dengan Putri Sultan Ageng Tirtayasa yang bernama Siti Syarifah. Dengan status barunya, maka memudahkan Syekh Yusuf dalam berdakwah. Murid beliau banyak tersebar sampai pelosok-pelosok luar Banten. Beliau juga menjadi pengayom bagi masyarakat Makassar yang lari karena kecewa terhadap perjanjian Bongaya.
Diawal tahun 1682 Banten pun bergejolak, semenjak kepulangan Sultan Haji putra mahkota yang diberikan sedikit kekuasaan berarti pemisahan tempat tinggal. Belanda melakukan aksi “adu dombanya” karena serangan-serangan militer ke wilayah Banten selama ini selalu dipatahkan putra Sultan yakni Pangeran Purbaya selaku Panglima Militer saat itu.
Dimulai dengan diserangnya Keraton Surosowan (Keraton Sultan Haji) hingga datangnya bantuan Belanda dari Batavia yang saat itu Belanda dapat lebih berkonsentrasi terhadap Banten karena jatuhnya Makassar. Sampai Desember 1682 keraton Tirtayasa tidak dapat terselamatkan. Keraton Tirtayasa ditinggalkan dan melakukan taktik perang gerilya, sampai 14 maret 1683 tercatat penyerahan diri Sultan Ageng Tirtayasa ke keraton Surosowan dan ditangkap Belanda kemudian dibawa ke Batavia dan wafat disana.
Perang Gerilya pun dilanjutkan Syekh Yusuf, Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul yang memimpin 5000 pasukan termasuk 1000 laskar Makassar, Bugis dan Melayu yang siap mati bersama gurunya. Syekh Yusuf bergerak ke arah timur sampai Padalarang lalu berbelok kearah pesisir selatan, sampai daerah desa Karang, di sana beliau bertemu dan dibantu oleh Syekh Abdul Muhyi (Hadjee Karang) dan laskarnya.
Dalam kebersamaannya inilah Syekh Muhyi berguru kepada Syekh Yusuf tentang penafsiran ayat-ayat Qur’an yang bersifat “mistik”. Setelah melakukan perang gerilya selama 2 tahun lamanya akhirnya Syekh Yusuf ditangkap dengan kondisi seluruh pengikut-pengikutnya dipulangkan ke kampung halamannya masing-masing kecuali 49 yang harus turut serta. Yaitu 2 orang istri, 2 abdi istri, 12 santri dan putra-putri, sahabat dan para abdi dalem.
Menjalani Kehidupan dalam Pengasingan
Belanda membawa rombongan Syekh Yusuf ke Cirebon untuk kemudian dibawa ke Batavia (Benteng). Melihat besarnya kharisma Syekh Yusuf maka ada kekhawatiran Belanda, dan ditambahkan kerajaan Bone dibawah pimpinan Aru Palakka (Raja Bone ke 15 ada hubungan kekerabatan) sedang melakukan perlawanan. Maka Belanda memutuskan untuk mengasingkan Syekh Yusuf beserta rombongan pada tanggal 12 september 1684 ke wilayah Srilangka.
Dalam waktu singkat nama beliau dikenal di sana. Selama disana beliau gunakan untuk beramal, mengajar dan menulis risala-risalah, banyak murid-muridnya yang berasal dari Hindustan (India) dan Srilanka sendiri. Dan membawa namanya termasyhur di India. Kaisar Hindustan Aurangzeb Alamgir (1659-1707) yang cinta kehidupan mistik sangat menghormatinya. Kaisar ini pernah menyurati kepada wakil pemerintah Belanda di Srilanka, supaya kehormatan pribadi Tuan Syekh itu dipelihara, karena jika tuan itu diganggu akan menggelisahkan umat Islam Hindustan.
Strategi perjuangannya pun berubah dari perang fisik kepada semangat keagamaan dan semangat perjuangan. Jemaah haji dari Indonesia sekembalinya dari Mekah biasanya singgah di Ceylon (Srilanka) untuk menunggu musim barat selama1-3 bulan. Dalam kesempatan ini lah jemaah haji Tabarukan dan belajar kepada Syekh Yusuf. Selain itu juga disisipkan pesan-pesan Politik, agar tetap mengadakan perlawanan terhadap Belanda dan juga pesan-pesan agama supaya tetap bepegang teguh pada jalan Allah. Dititip pesan pada raja dan rakyat Banten dan Makassar lewat surat-suratnya:
Pertama, harus berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah,
Kedua, Harus berpegang pada Syariat dan Hakikat, Fiqih dan Tasauf, tarikat Muhammadiyah dan Suluk Ahmadiyah’
Ketiga, harus selalu berpikir dan mengharapkan diri pada Allah dengan sikap Khauf dan Raja’,
Keempat, harus selalu jujur, berkata dan berbuat benar dan baik, berbudi pekerti yang luhur dan Tawakal pada Allah,
Kelima, menghormati ulama dan cerdik pandai serta mengasihi fakir-miskin,
Keenam, jauhi sifat-sifat takabur, bangga diri dan angkuh,
Ketujuh, usahakan selalu bertobat dan selalu berzikir pada Allah
Dan surat-surat kepada raja Banten dan Makassar kabarnya tercium oleh pemerintah Belanda di Batavia. Pemberontakan rakyat di Banten dan raja Gowa ke-19 menyebabkan Pemerintah Belanda mencari latar belakangnya, akhirnya ditarik kesimpulan bahwa pemberontakan ini erat kaitannya dengan Syekh Yusuf. Berupa risalah-risalah dan pesan-pesan yang menggunakan nama samaran.
Di Makassar “Kittakna Tuan LoEta (kitab tuan LoE ku) atau Pasanna Tuanta (pesan tuanku)” di Banten disebut Ngelmu Aji Karang atau Tuan She. Akhirnya diputuskan Syekh Yusuf dan 49 rombongannya untuk dipindahkan dari Ceylon ke Kaap (Afrika Selatan). Dan dilaksanakan pada tanggal 7 Juli 1693 setelah 9 tahun beliau di Ceylon di usia 68 tahun, dengan menaiki kapal “Voetboeg”. Dan sampai di pantai Afrika pada tanggal 2 April 1694, selama 8 bulan 23 hari perjalanan.
Tapi api perjuangannya tidak pernah padam oleh ruang dan waktu beliau tetap mengobarkan semangat warga Afrika Selatan untuk merdeka dan membentuk komunitas muslim disana yang memang menjadi daerah buangan politik tempat itu sekarang dikenal dengan Macassar Faure.
Syekh Yusuf meninggal pada tanggal 23 Mei 1699 pada usia 73 tahun setelah 5 tahun di Afrika Selatan dimakamkan di daerah Faure dan pada tanggal 5 April 1705 kerangka dan keluarga Syekh Yusuf dipulangkan dan tiba di Makassar. Ia dimakamkan di Lakiung pada hari Selasa tanggal 6 April 1705 / 12 Zulhidjah 1116 H.
Semangatnya masih tetap menyala disetiap tempat yang disinggahinya hingga saat ini bahkan di Afrika Selatan Nelson Mandela yang berhasil membebaskan Afsel dari politik Apartheid mengaku terinspirasi oleh perjuangan Syekh Yusuf dan mengatakan “Salah seorang Putra Afrika Terbaik”.
Bahkan banyak versi yang diyakini sebagai makam beliau selain di Macassar Faure (Afsel), Lakiung-Gowa, Banten, Palembang, Srilanka dan talango-Madura. Tapi makam Syekh Yusuf yang sebenarnya ada di Lakiung ujar sejarawan Prof. Anhari Gonggong.
Prasasti Ilmu Syekh Yusuf
Kitab Kuning Seseorang dari masa lalu dikenal karena meninggalkan sesuatu yang berarti. Baik berupa prasasti maupun dokumen-dokumen penting lainnya. Syekh Yusuf adalah ulama yang produktif menulis, kitab-kitab yang ditulisnya merupakan prasasti ilmu bagi generasi setelahnya. Setidaknya, terdapat 7 karya penting dari beliau, menurut Abu Hamid dalam bukunya Syekh Yusuf seorang Ulama, Sufi dan Pejuang menyebutkan 7 kitab tersebut adalah:
1. Kaifiyat al-munghi Wal Istbath
2. Safinat an-Najat
3. Hablu al-warid li Sa’adat al-Murid
4. al-Barakat as-Sailaniyah
5. an-Nafhati as-Sailaniyah
6. Mathalib as-Salikin
7. Risalat Ghayah al-Ikhtisar
Berbeda dengan Abu Hamid, Nabilah Lubis dalam Syekh Yusuf al-Taj Khalwati al-Makassari menemukan sedikitnya 25 kitab karangannya yang di tulis era Banten dan Ceylon.
Terlepas dari perdebatan berapa jumlah pasti karya Syekh Yusuf, yang pasti masih banyak yang tersisa dari Syekh Yusuf, baik berupa semangat perjuangannya menumpas kedzoliman, maupun belantara ilmu yang masih tercecer.
Tinggal bagaimana kita saja, apakah kita bersedia mengais untuk memunguti keutamaan, kearifan, keteladanan, dan ilmu-ilmu dari beliau. Atau malah kita melupakan dengan menggusur bangunan makamnya karena dipenuhi oleh dampak yang dinilai kurang baik dan diganti dengan Mall atau hotel, seperti yang dilakukan oleh Saudi terhadap tempat bersejarah yang terdapat di Makkah.
Matahari sedang berada tepat di atas kepala, Terik yang menyengat. Namun semua seakan tidak berasa dan menjadi penghalang untuk niatan baik. Saya tetap dengan mantap berjalan di bawah terik matahari. Hanya 500 meter letak makam Syekh Yusuf dari tempat yang aku tinggali. Bukan jarak yang berarti. Jarak itu aku tempuh dengan jalan kaki. Dengan tergesa Aku berjalan menyusuri jalanan, bukan karena terik matahari melainkan supaya segera dapat mencurahkan kerinduan pada ulama yang sosoknya aku kagumi ini.
Begitu memasuki komplek pemakaman beliau, saat itu Adzan waktu shalat dhuhur dikumandangkan. Waktu yang tepat. Aku pun segera mengambil wudhu, shalat sunnat tahiyyatul masjid, lalu mengikuti shalat dhuhur berjamaah. Ada rasa baru mengalir deras menyentuh kalbu. Rasa itu adalah energi. Namun aku tidak tahu apa sebenarnya ini. Apa karena lama tidak berjamaah atau karena energi positif dari Syekh Yusuf? Entah lah...
Selesai shalat berjamaah, aku buru-buru menuju makam beliau.
Komplek Makam
Sebagaimana layaknya berziarah, aku pun melakukan hal yang sama. Tawassul, baca yasin, tahlil, dan berdo’a untuk keselamatan kehidupan beliau, diriku, keluargaku dan ummat Islam semua. Batin tiba-tiba menghayal, seandainya kiriman doa itu sebuah kiriman energi, maka menjadi wajar saja tarikan energi dari makam beliau cukup besar. Seandainya tiap hari ada 100 orang berziarah dan berdo’a untuk beliau maka ada 100 energi yang terkirim. Hemm....
Selepas ziarah, aku justru makin penasaran dengan sosok beliau, maka selama berada di Makassar, banyak waktu yang digunakan untuk mencari tahu mengenai sosok beliau. Baik melalui cerita-cerita yang beredar di masyarakat maupun melalui buku-buku. Hasil riset amatiran ini, aku bagi dengan teman-teman semua. Semoga kita bisa mengambil teladan dari beliau.
Syekh Yusuf al-Makassar (3 juli 1626-23 mei 1699)
Silsilah
Terdapat banyak versi cerita yang berkembang di masyarakat terkait dengan silsilah garis keturunan Syekh Yusuf dari garis ayah, sedangkan dari garis ibu, perbedaan itu melebut. Semua sepakat bahwa ibu dari Syekh Yusuf adalah Siti Aminah putri Gallarang Moncong Loe. Syekh Yusuf berasal dari keturunan bangsawan kerajaan Gowa.
Geneologi dan Rihlah Intelektual Syekh Yusuf
Seorang ulama besar tidak mungkin lahir dengan sendirinya, tanpa melalui tempaan-tempaan yang berat. Termasuk tempaan dalam mencari ilmu. Mengetahui guru-gurunya juga sebagai pemetaan jaringan ulama dan corak paham kegamaan yang dikembangkannya. Begitu juga dengan Syekh Yusuf. Di usia belia, beliau berguru pada Daeng ri Tasammang hingga khatam al-Qur’an.
Selepas dari situ, kehausan beliau atas ilmu sudah terlihat. Tidak puas hanya belajar al-Qur’an, beliau pun kemudian mencoba mempelajari Nahwu, Sharaf dan Mantik juga pelajaran kitab-kitab klasik Islam. Namun karena Daeng tidak sanggup memenuhi dahaga ilmunya Syekh Yusuf, maka beliau dianjurkan berguru pada Sayyid Ba’Alwy bin Abdullah al-Allamah Thahir di Bontoala sebagai pusat pendidikan islam tahun 1634. Tidak butuh waktu lama bagi Syekh Yusuf untuk menyerap, menghatamkan, serta mengerti materi dari kitab-kitab Fiqih dan Tauhid. Setelah itu, beliau kemudian belajar pada Syekh Jalaluddin al-Aidit ulama Aceh yang datang melalui Kutai ke Makassar.
Walaupun hidup di lingkungan istana, namun semangat untuk menuntut ilmu tidak padam oleh tawaran-tawaran kehidupan enak ala istana. Di usia yang masih tergolong remaja (18 tahun), beliau berencana menuntut ilmu ke Makkah (saat itu masih menjadi sentral intelektuali dunia Islam).
Sebelum niatan itu terwujud, ada satu adat saat itu yang “harus dipenuhi” oleh Syekh Yusuf sebagai bagian dari keluarga kerajaan, yaitu supaya membekali diri dengan berguru kepada “Para Paku Bumi” di 3 gunung (G. Latimojong wilayah kerajaan Luwu, G. Balusaraung wilayah kerajaan Bone, G. Bawakaraeng wilayah kerajaan Gowa) sebagai puncak 3 kerajaan yang memiliki ciri khas dan tradisi budaya tersendiri.
Tepat pada tanggal 22 September 1644 diusia 18 tahun Yusuf muda berangkat ke Makkah menumpang kapal melayu, Banten adalah persinggahannya pertama sebagai jalur pelayaran niaga pada masa itu. Disini dia berkenalan dan bersahabat dengan Pangeran Surya anak dari Sultan Mufahir Mahmud Abdul Kadir (1598-1650), kemudian dia berangkat ke Aceh dan berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan mendapatkan ijazah tarekat Qadiriyah. lalu melanjutkan perjalanannya ke Timur Tengah untuk melaksanakan ibadah Haji sekaligus berguru dengan ulama disana.
Negeri Yaman adalah persinggahan beliau pertama dan berguru kepada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandy dan berijasah tarekat Naqsayabandi. Lalu ke kota Zubaid berguru kepada Syekh Maulana Sayed Ali al-Baalawiyah berijasah tarekat Baalawiyah. Musim haji pun tiba maka beliau berangkat ke Mekkah. Setelah menunaikan ibadah Haji maka beliau berangkat ke Madinah untuk berguru kepada Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin al-Kurdi al-Kaurani dan memperoleh ijasah tarekat Syattariyah.
Syekh Ibrahim yang juga dikenal dengan nama Mulla Ibrahim, adalah juga guru Syekh Abdurrauf Singkel (masa yg tidak jauh dengan Syekh Yusuf) “dan Syekh Abdurrauf adalah guru Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (Hadjee Karang)”. Dari situ Yusuf muda masih melakukan perjalanan studinya ke Negeri Syam (Damaskus) kepada Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Qurasyi mendapatkan predikat “Summa Cum Laude” bergelar Tajul Khalwati Hadiyatullah. Selain 5 tarekat di atas tercatat juga bahwa beliau mempelajari tarekat Dasuqiyah, Syaziliyah, Hasytiah, Rifaiyah, al-Idrusiyah, Ahmadiyah, Suhrawardiyah, Maulawiyah, Kubrawiyah, Madariyah, Makhduniyah. Disini terkesan beliau memiliki pengetahuan yang tinggi.
Menapaki Jejak Perjuangan Syekh Yusuf
Setelah menganggap selesai melakukan rihlah atau petualangan menuntut ilmu, maka beliau memutuskan untuk “mudik” dan menjadi juru dakwah di Makassar, saat itu usia beliau adalah 38 tahun. Harapan-harapan dan rencana-rencana yang telah disusun untuk dikembangkan di Makassar berantakan, karena sesampainya di kampung halaman, beliau menyaksikan kehancuran kerajaan Gowa pasca kekalahannya perang dengan Belanda, maksiat merajalela dimana-mana, usaha menasehati pihak kesultanan pun tak berhasil. Syekh Yusuf memutuskan untuk hijrah ke Banten yang memang sejak dari Makkah Sultan Banten telah memintanya untuk datang kesana.
Banten telah semarak berbeda dengan 15 tahun yang lalu sejak ia tinggalkan sahabatnya Pangeran Surya telah menjadi Sultan Banten dengan nama Sultan Abdul Fattah yang dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Syekh Yusuf menjadi Mufti kesultanan dan kemudian dinikahkan dengan Putri Sultan Ageng Tirtayasa yang bernama Siti Syarifah. Dengan status barunya, maka memudahkan Syekh Yusuf dalam berdakwah. Murid beliau banyak tersebar sampai pelosok-pelosok luar Banten. Beliau juga menjadi pengayom bagi masyarakat Makassar yang lari karena kecewa terhadap perjanjian Bongaya.
Diawal tahun 1682 Banten pun bergejolak, semenjak kepulangan Sultan Haji putra mahkota yang diberikan sedikit kekuasaan berarti pemisahan tempat tinggal. Belanda melakukan aksi “adu dombanya” karena serangan-serangan militer ke wilayah Banten selama ini selalu dipatahkan putra Sultan yakni Pangeran Purbaya selaku Panglima Militer saat itu.
Dimulai dengan diserangnya Keraton Surosowan (Keraton Sultan Haji) hingga datangnya bantuan Belanda dari Batavia yang saat itu Belanda dapat lebih berkonsentrasi terhadap Banten karena jatuhnya Makassar. Sampai Desember 1682 keraton Tirtayasa tidak dapat terselamatkan. Keraton Tirtayasa ditinggalkan dan melakukan taktik perang gerilya, sampai 14 maret 1683 tercatat penyerahan diri Sultan Ageng Tirtayasa ke keraton Surosowan dan ditangkap Belanda kemudian dibawa ke Batavia dan wafat disana.
Perang Gerilya pun dilanjutkan Syekh Yusuf, Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul yang memimpin 5000 pasukan termasuk 1000 laskar Makassar, Bugis dan Melayu yang siap mati bersama gurunya. Syekh Yusuf bergerak ke arah timur sampai Padalarang lalu berbelok kearah pesisir selatan, sampai daerah desa Karang, di sana beliau bertemu dan dibantu oleh Syekh Abdul Muhyi (Hadjee Karang) dan laskarnya.
Dalam kebersamaannya inilah Syekh Muhyi berguru kepada Syekh Yusuf tentang penafsiran ayat-ayat Qur’an yang bersifat “mistik”. Setelah melakukan perang gerilya selama 2 tahun lamanya akhirnya Syekh Yusuf ditangkap dengan kondisi seluruh pengikut-pengikutnya dipulangkan ke kampung halamannya masing-masing kecuali 49 yang harus turut serta. Yaitu 2 orang istri, 2 abdi istri, 12 santri dan putra-putri, sahabat dan para abdi dalem.
Menjalani Kehidupan dalam Pengasingan
Belanda membawa rombongan Syekh Yusuf ke Cirebon untuk kemudian dibawa ke Batavia (Benteng). Melihat besarnya kharisma Syekh Yusuf maka ada kekhawatiran Belanda, dan ditambahkan kerajaan Bone dibawah pimpinan Aru Palakka (Raja Bone ke 15 ada hubungan kekerabatan) sedang melakukan perlawanan. Maka Belanda memutuskan untuk mengasingkan Syekh Yusuf beserta rombongan pada tanggal 12 september 1684 ke wilayah Srilangka.
Dalam waktu singkat nama beliau dikenal di sana. Selama disana beliau gunakan untuk beramal, mengajar dan menulis risala-risalah, banyak murid-muridnya yang berasal dari Hindustan (India) dan Srilanka sendiri. Dan membawa namanya termasyhur di India. Kaisar Hindustan Aurangzeb Alamgir (1659-1707) yang cinta kehidupan mistik sangat menghormatinya. Kaisar ini pernah menyurati kepada wakil pemerintah Belanda di Srilanka, supaya kehormatan pribadi Tuan Syekh itu dipelihara, karena jika tuan itu diganggu akan menggelisahkan umat Islam Hindustan.
Strategi perjuangannya pun berubah dari perang fisik kepada semangat keagamaan dan semangat perjuangan. Jemaah haji dari Indonesia sekembalinya dari Mekah biasanya singgah di Ceylon (Srilanka) untuk menunggu musim barat selama1-3 bulan. Dalam kesempatan ini lah jemaah haji Tabarukan dan belajar kepada Syekh Yusuf. Selain itu juga disisipkan pesan-pesan Politik, agar tetap mengadakan perlawanan terhadap Belanda dan juga pesan-pesan agama supaya tetap bepegang teguh pada jalan Allah. Dititip pesan pada raja dan rakyat Banten dan Makassar lewat surat-suratnya:
Pertama, harus berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah,
Kedua, Harus berpegang pada Syariat dan Hakikat, Fiqih dan Tasauf, tarikat Muhammadiyah dan Suluk Ahmadiyah’
Ketiga, harus selalu berpikir dan mengharapkan diri pada Allah dengan sikap Khauf dan Raja’,
Keempat, harus selalu jujur, berkata dan berbuat benar dan baik, berbudi pekerti yang luhur dan Tawakal pada Allah,
Kelima, menghormati ulama dan cerdik pandai serta mengasihi fakir-miskin,
Keenam, jauhi sifat-sifat takabur, bangga diri dan angkuh,
Ketujuh, usahakan selalu bertobat dan selalu berzikir pada Allah
Dan surat-surat kepada raja Banten dan Makassar kabarnya tercium oleh pemerintah Belanda di Batavia. Pemberontakan rakyat di Banten dan raja Gowa ke-19 menyebabkan Pemerintah Belanda mencari latar belakangnya, akhirnya ditarik kesimpulan bahwa pemberontakan ini erat kaitannya dengan Syekh Yusuf. Berupa risalah-risalah dan pesan-pesan yang menggunakan nama samaran.
Di Makassar “Kittakna Tuan LoEta (kitab tuan LoE ku) atau Pasanna Tuanta (pesan tuanku)” di Banten disebut Ngelmu Aji Karang atau Tuan She. Akhirnya diputuskan Syekh Yusuf dan 49 rombongannya untuk dipindahkan dari Ceylon ke Kaap (Afrika Selatan). Dan dilaksanakan pada tanggal 7 Juli 1693 setelah 9 tahun beliau di Ceylon di usia 68 tahun, dengan menaiki kapal “Voetboeg”. Dan sampai di pantai Afrika pada tanggal 2 April 1694, selama 8 bulan 23 hari perjalanan.
Tapi api perjuangannya tidak pernah padam oleh ruang dan waktu beliau tetap mengobarkan semangat warga Afrika Selatan untuk merdeka dan membentuk komunitas muslim disana yang memang menjadi daerah buangan politik tempat itu sekarang dikenal dengan Macassar Faure.
Syekh Yusuf meninggal pada tanggal 23 Mei 1699 pada usia 73 tahun setelah 5 tahun di Afrika Selatan dimakamkan di daerah Faure dan pada tanggal 5 April 1705 kerangka dan keluarga Syekh Yusuf dipulangkan dan tiba di Makassar. Ia dimakamkan di Lakiung pada hari Selasa tanggal 6 April 1705 / 12 Zulhidjah 1116 H.
Semangatnya masih tetap menyala disetiap tempat yang disinggahinya hingga saat ini bahkan di Afrika Selatan Nelson Mandela yang berhasil membebaskan Afsel dari politik Apartheid mengaku terinspirasi oleh perjuangan Syekh Yusuf dan mengatakan “Salah seorang Putra Afrika Terbaik”.
Bahkan banyak versi yang diyakini sebagai makam beliau selain di Macassar Faure (Afsel), Lakiung-Gowa, Banten, Palembang, Srilanka dan talango-Madura. Tapi makam Syekh Yusuf yang sebenarnya ada di Lakiung ujar sejarawan Prof. Anhari Gonggong.
Prasasti Ilmu Syekh Yusuf
Kitab Kuning Seseorang dari masa lalu dikenal karena meninggalkan sesuatu yang berarti. Baik berupa prasasti maupun dokumen-dokumen penting lainnya. Syekh Yusuf adalah ulama yang produktif menulis, kitab-kitab yang ditulisnya merupakan prasasti ilmu bagi generasi setelahnya. Setidaknya, terdapat 7 karya penting dari beliau, menurut Abu Hamid dalam bukunya Syekh Yusuf seorang Ulama, Sufi dan Pejuang menyebutkan 7 kitab tersebut adalah:
1. Kaifiyat al-munghi Wal Istbath
2. Safinat an-Najat
3. Hablu al-warid li Sa’adat al-Murid
4. al-Barakat as-Sailaniyah
5. an-Nafhati as-Sailaniyah
6. Mathalib as-Salikin
7. Risalat Ghayah al-Ikhtisar
Berbeda dengan Abu Hamid, Nabilah Lubis dalam Syekh Yusuf al-Taj Khalwati al-Makassari menemukan sedikitnya 25 kitab karangannya yang di tulis era Banten dan Ceylon.
Terlepas dari perdebatan berapa jumlah pasti karya Syekh Yusuf, yang pasti masih banyak yang tersisa dari Syekh Yusuf, baik berupa semangat perjuangannya menumpas kedzoliman, maupun belantara ilmu yang masih tercecer.
Tinggal bagaimana kita saja, apakah kita bersedia mengais untuk memunguti keutamaan, kearifan, keteladanan, dan ilmu-ilmu dari beliau. Atau malah kita melupakan dengan menggusur bangunan makamnya karena dipenuhi oleh dampak yang dinilai kurang baik dan diganti dengan Mall atau hotel, seperti yang dilakukan oleh Saudi terhadap tempat bersejarah yang terdapat di Makkah.
Sumber: BuntetPesantren.org