Laman

Selasa, 04 Januari 2011

* Cahaya dari Timur : Syekh Yusuf Al-Makassari

Oleh : Mohammad Ali

Diawal bulan juli lalu saya melakukan perjalanan ke kota Makassar untuk keperluan keluarga, karena memang keluarga saya berasal dari daerah sana. Cukup lama juga tidak mengunjungi tempat kelahiran orang tua saya. Pada perjalanan kali ini, selain urusan keluarga, saya sudah meng-agendakan untuk berziarah dan merenung untuk mengambil teladan dari sosok ulama besar pada masanya, Syekh Yusuf al-Makassari. Salah satu tokoh yang, menurut Fathi, kemungkinan bertemu dengan Mbah Muqoyyim (pendiri Buntet Pesantren). Kalau pun tidak bertemu, mereka lahir dari situasi yang sama. Menolak kehidupan mewah ala istana dan lebih memilih merantau untuk mencari ilmu serta berjuang melawan penjajah Belanda.
Matahari sedang berada tepat di atas kepala, Terik yang menyengat. Namun semua seakan tidak berasa dan menjadi penghalang untuk niatan baik. Saya tetap dengan mantap berjalan di bawah terik matahari. Hanya 500 meter letak makam Syekh Yusuf dari tempat yang aku tinggali. Bukan jarak yang berarti. Jarak itu aku tempuh dengan jalan kaki. Dengan tergesa Aku berjalan menyusuri jalanan, bukan karena terik matahari melainkan supaya segera dapat mencurahkan kerinduan pada ulama yang sosoknya aku kagumi ini.

Begitu memasuki komplek pemakaman beliau, saat itu Adzan waktu shalat dhuhur dikumandangkan. Waktu yang tepat. Aku pun segera mengambil wudhu, shalat sunnat tahiyyatul masjid, lalu mengikuti shalat dhuhur berjamaah. Ada rasa baru mengalir deras menyentuh kalbu. Rasa itu adalah energi. Namun aku tidak tahu apa sebenarnya ini. Apa karena lama tidak berjamaah atau karena energi positif dari Syekh Yusuf? Entah lah...

Selesai shalat berjamaah, aku buru-buru menuju makam beliau.

Komplek Makam

Sebagaimana layaknya berziarah, aku pun melakukan hal yang sama. Tawassul, baca yasin, tahlil, dan berdo’a untuk keselamatan kehidupan beliau, diriku, keluargaku dan ummat Islam semua. Batin tiba-tiba menghayal, seandainya kiriman doa itu sebuah kiriman energi, maka menjadi wajar saja tarikan energi dari makam beliau cukup besar. Seandainya tiap hari ada 100 orang berziarah dan berdo’a untuk beliau maka ada 100 energi yang terkirim. Hemm....

Selepas ziarah, aku justru makin penasaran dengan sosok beliau, maka selama berada di Makassar, banyak waktu yang digunakan untuk mencari tahu mengenai sosok beliau. Baik melalui cerita-cerita yang beredar di masyarakat maupun melalui buku-buku. Hasil riset amatiran ini, aku bagi dengan teman-teman semua. Semoga kita bisa mengambil teladan dari beliau.

Syekh Yusuf al-Makassar (3 juli 1626-23 mei 1699)

Silsilah

Terdapat banyak versi cerita yang berkembang di masyarakat terkait dengan silsilah garis keturunan Syekh Yusuf dari garis ayah, sedangkan dari garis ibu, perbedaan itu melebut. Semua sepakat bahwa ibu dari Syekh Yusuf adalah Siti Aminah putri Gallarang Moncong Loe. Syekh Yusuf berasal dari keturunan bangsawan kerajaan Gowa.

Geneologi dan Rihlah Intelektual Syekh Yusuf

Seorang ulama besar tidak mungkin lahir dengan sendirinya, tanpa melalui tempaan-tempaan yang berat. Termasuk tempaan dalam mencari ilmu. Mengetahui guru-gurunya juga sebagai pemetaan jaringan ulama dan corak paham kegamaan yang dikembangkannya. Begitu juga dengan Syekh Yusuf. Di usia belia, beliau berguru pada Daeng ri Tasammang hingga khatam al-Qur’an.

Selepas dari situ, kehausan beliau atas ilmu sudah terlihat. Tidak puas hanya belajar al-Qur’an, beliau pun kemudian mencoba mempelajari Nahwu, Sharaf dan Mantik juga pelajaran kitab-kitab klasik Islam. Namun karena Daeng tidak sanggup memenuhi dahaga ilmunya Syekh Yusuf, maka beliau dianjurkan berguru pada Sayyid Ba’Alwy bin Abdullah al-Allamah Thahir di Bontoala sebagai pusat pendidikan islam tahun 1634. Tidak butuh waktu lama bagi Syekh Yusuf untuk menyerap, menghatamkan, serta mengerti materi dari kitab-kitab Fiqih dan Tauhid. Setelah itu, beliau kemudian belajar pada Syekh Jalaluddin al-Aidit ulama Aceh yang datang melalui Kutai ke Makassar.

Walaupun hidup di lingkungan istana, namun semangat untuk menuntut ilmu tidak padam oleh tawaran-tawaran kehidupan enak ala istana. Di usia yang masih tergolong remaja (18 tahun), beliau berencana menuntut ilmu ke Makkah (saat itu masih menjadi sentral intelektuali dunia Islam).

Sebelum niatan itu terwujud, ada satu adat saat itu yang “harus dipenuhi” oleh Syekh Yusuf sebagai bagian dari keluarga kerajaan, yaitu supaya membekali diri dengan berguru kepada “Para Paku Bumi” di 3 gunung (G. Latimojong wilayah kerajaan Luwu, G. Balusaraung wilayah kerajaan Bone, G. Bawakaraeng wilayah kerajaan Gowa) sebagai puncak 3 kerajaan yang memiliki ciri khas dan tradisi budaya tersendiri.

Tepat pada tanggal 22 September 1644 diusia 18 tahun Yusuf muda berangkat ke Makkah menumpang kapal melayu, Banten adalah persinggahannya pertama sebagai jalur pelayaran niaga pada masa itu. Disini dia berkenalan dan bersahabat dengan Pangeran Surya anak dari Sultan Mufahir Mahmud Abdul Kadir (1598-1650), kemudian dia berangkat ke Aceh dan berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan mendapatkan ijazah tarekat Qadiriyah. lalu melanjutkan perjalanannya ke Timur Tengah untuk melaksanakan ibadah Haji sekaligus berguru dengan ulama disana.

Negeri Yaman adalah persinggahan beliau pertama dan berguru kepada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandy dan berijasah tarekat Naqsayabandi. Lalu ke kota Zubaid berguru kepada Syekh Maulana Sayed Ali al-Baalawiyah berijasah tarekat Baalawiyah. Musim haji pun tiba maka beliau berangkat ke Mekkah. Setelah menunaikan ibadah Haji maka beliau berangkat ke Madinah untuk berguru kepada Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin al-Kurdi al-Kaurani dan memperoleh ijasah tarekat Syattariyah.

Syekh Ibrahim yang juga dikenal dengan nama Mulla Ibrahim, adalah juga guru Syekh Abdurrauf Singkel (masa yg tidak jauh dengan Syekh Yusuf) “dan Syekh Abdurrauf adalah guru Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (Hadjee Karang)”. Dari situ Yusuf muda masih melakukan perjalanan studinya ke Negeri Syam (Damaskus) kepada Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Qurasyi mendapatkan predikat “Summa Cum Laude” bergelar Tajul Khalwati Hadiyatullah. Selain 5 tarekat di atas tercatat juga bahwa beliau mempelajari tarekat Dasuqiyah, Syaziliyah, Hasytiah, Rifaiyah, al-Idrusiyah, Ahmadiyah, Suhrawardiyah, Maulawiyah, Kubrawiyah, Madariyah, Makhduniyah. Disini terkesan beliau memiliki pengetahuan yang tinggi.

Menapaki Jejak Perjuangan Syekh Yusuf

Setelah menganggap selesai melakukan rihlah atau petualangan menuntut ilmu, maka beliau memutuskan untuk “mudik” dan menjadi juru dakwah di Makassar, saat itu usia beliau adalah 38 tahun. Harapan-harapan dan rencana-rencana yang telah disusun untuk dikembangkan di Makassar berantakan, karena sesampainya di kampung halaman, beliau menyaksikan kehancuran kerajaan Gowa pasca kekalahannya perang dengan Belanda, maksiat merajalela dimana-mana, usaha menasehati pihak kesultanan pun tak berhasil. Syekh Yusuf memutuskan untuk hijrah ke Banten yang memang sejak dari Makkah Sultan Banten telah memintanya untuk datang kesana.

Banten telah semarak berbeda dengan 15 tahun yang lalu sejak ia tinggalkan sahabatnya Pangeran Surya telah menjadi Sultan Banten dengan nama Sultan Abdul Fattah yang dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Syekh Yusuf menjadi Mufti kesultanan dan kemudian dinikahkan dengan Putri Sultan Ageng Tirtayasa yang bernama Siti Syarifah. Dengan status barunya, maka memudahkan Syekh Yusuf dalam berdakwah. Murid beliau banyak tersebar sampai pelosok-pelosok luar Banten. Beliau juga menjadi pengayom bagi masyarakat Makassar yang lari karena kecewa terhadap perjanjian Bongaya.

Diawal tahun 1682 Banten pun bergejolak, semenjak kepulangan Sultan Haji putra mahkota yang diberikan sedikit kekuasaan berarti pemisahan tempat tinggal. Belanda melakukan aksi “adu dombanya” karena serangan-serangan militer ke wilayah Banten selama ini selalu dipatahkan putra Sultan yakni Pangeran Purbaya selaku Panglima Militer saat itu.

Dimulai dengan diserangnya Keraton Surosowan (Keraton Sultan Haji) hingga datangnya bantuan Belanda dari Batavia yang saat itu Belanda dapat lebih berkonsentrasi terhadap Banten karena jatuhnya Makassar. Sampai Desember 1682 keraton Tirtayasa tidak dapat terselamatkan. Keraton Tirtayasa ditinggalkan dan melakukan taktik perang gerilya, sampai 14 maret 1683 tercatat penyerahan diri Sultan Ageng Tirtayasa ke keraton Surosowan dan ditangkap Belanda kemudian dibawa ke Batavia dan wafat disana.

Perang Gerilya pun dilanjutkan Syekh Yusuf, Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul yang memimpin 5000 pasukan termasuk 1000 laskar Makassar, Bugis dan Melayu yang siap mati bersama gurunya. Syekh Yusuf bergerak ke arah timur sampai Padalarang lalu berbelok kearah pesisir selatan, sampai daerah desa Karang, di sana beliau bertemu dan dibantu oleh Syekh Abdul Muhyi (Hadjee Karang) dan laskarnya.

Dalam kebersamaannya inilah Syekh Muhyi berguru kepada Syekh Yusuf tentang penafsiran ayat-ayat Qur’an yang bersifat “mistik”. Setelah melakukan perang gerilya selama 2 tahun lamanya akhirnya Syekh Yusuf ditangkap dengan kondisi seluruh pengikut-pengikutnya dipulangkan ke kampung halamannya masing-masing kecuali 49 yang harus turut serta. Yaitu 2 orang istri, 2 abdi istri, 12 santri dan putra-putri, sahabat dan para abdi dalem.

Menjalani Kehidupan dalam Pengasingan

Belanda membawa rombongan Syekh Yusuf ke Cirebon untuk kemudian dibawa ke Batavia (Benteng). Melihat besarnya kharisma Syekh Yusuf maka ada kekhawatiran Belanda, dan ditambahkan kerajaan Bone dibawah pimpinan Aru Palakka (Raja Bone ke 15 ada hubungan kekerabatan) sedang melakukan perlawanan. Maka Belanda memutuskan untuk mengasingkan Syekh Yusuf beserta rombongan pada tanggal 12 september 1684 ke wilayah Srilangka.

Dalam waktu singkat nama beliau dikenal di sana. Selama disana beliau gunakan untuk beramal, mengajar dan menulis risala-risalah, banyak murid-muridnya yang berasal dari Hindustan (India) dan Srilanka sendiri. Dan membawa namanya termasyhur di India. Kaisar Hindustan Aurangzeb Alamgir (1659-1707) yang cinta kehidupan mistik sangat menghormatinya. Kaisar ini pernah menyurati kepada wakil pemerintah Belanda di Srilanka, supaya kehormatan pribadi Tuan Syekh itu dipelihara, karena jika tuan itu diganggu akan menggelisahkan umat Islam Hindustan.

Strategi perjuangannya pun berubah dari perang fisik kepada semangat keagamaan dan semangat perjuangan. Jemaah haji dari Indonesia sekembalinya dari Mekah biasanya singgah di Ceylon (Srilanka) untuk menunggu musim barat selama1-3 bulan. Dalam kesempatan ini lah jemaah haji Tabarukan dan belajar kepada Syekh Yusuf. Selain itu juga disisipkan pesan-pesan Politik, agar tetap mengadakan perlawanan terhadap Belanda dan juga pesan-pesan agama supaya tetap bepegang teguh pada jalan Allah. Dititip pesan pada raja dan rakyat Banten dan Makassar lewat surat-suratnya:

Pertama, harus berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah,

Kedua, Harus berpegang pada Syariat dan Hakikat, Fiqih dan Tasauf, tarikat Muhammadiyah dan Suluk Ahmadiyah’

Ketiga, harus selalu berpikir dan mengharapkan diri pada Allah dengan sikap Khauf dan Raja’,

Keempat, harus selalu jujur, berkata dan berbuat benar dan baik, berbudi pekerti yang luhur dan Tawakal pada Allah,

Kelima, menghormati ulama dan cerdik pandai serta mengasihi fakir-miskin,

Keenam, jauhi sifat-sifat takabur, bangga diri dan angkuh,

Ketujuh, usahakan selalu bertobat dan selalu berzikir pada Allah

Dan surat-surat kepada raja Banten dan Makassar kabarnya tercium oleh pemerintah Belanda di Batavia. Pemberontakan rakyat di Banten dan raja Gowa ke-19 menyebabkan Pemerintah Belanda mencari latar belakangnya, akhirnya ditarik kesimpulan bahwa pemberontakan ini erat kaitannya dengan Syekh Yusuf. Berupa risalah-risalah dan pesan-pesan yang menggunakan nama samaran.

Di Makassar “Kittakna Tuan LoEta (kitab tuan LoE ku) atau Pasanna Tuanta (pesan tuanku)” di Banten disebut Ngelmu Aji Karang atau Tuan She. Akhirnya diputuskan Syekh Yusuf dan 49 rombongannya untuk dipindahkan dari Ceylon ke Kaap (Afrika Selatan). Dan dilaksanakan pada tanggal 7 Juli 1693 setelah 9 tahun beliau di Ceylon di usia 68 tahun, dengan menaiki kapal “Voetboeg”. Dan sampai di pantai Afrika pada tanggal 2 April 1694, selama 8 bulan 23 hari perjalanan.

Tapi api perjuangannya tidak pernah padam oleh ruang dan waktu beliau tetap mengobarkan semangat warga Afrika Selatan untuk merdeka dan membentuk komunitas muslim disana yang memang menjadi daerah buangan politik tempat itu sekarang dikenal dengan Macassar Faure.

Syekh Yusuf meninggal pada tanggal 23 Mei 1699 pada usia 73 tahun setelah 5 tahun di Afrika Selatan dimakamkan di daerah Faure dan pada tanggal 5 April 1705 kerangka dan keluarga Syekh Yusuf dipulangkan dan tiba di Makassar. Ia dimakamkan di Lakiung pada hari Selasa tanggal 6 April 1705 / 12 Zulhidjah 1116 H.

Semangatnya masih tetap menyala disetiap tempat yang disinggahinya hingga saat ini bahkan di Afrika Selatan Nelson Mandela yang berhasil membebaskan Afsel dari politik Apartheid mengaku terinspirasi oleh perjuangan Syekh Yusuf dan mengatakan “Salah seorang Putra Afrika Terbaik”.

Bahkan banyak versi yang diyakini sebagai makam beliau selain di Macassar Faure (Afsel), Lakiung-Gowa, Banten, Palembang, Srilanka dan talango-Madura. Tapi makam Syekh Yusuf yang sebenarnya ada di Lakiung ujar sejarawan Prof. Anhari Gonggong.

Prasasti Ilmu Syekh Yusuf

Kitab Kuning Seseorang dari masa lalu dikenal karena meninggalkan sesuatu yang berarti. Baik berupa prasasti maupun dokumen-dokumen penting lainnya. Syekh Yusuf adalah ulama yang produktif menulis, kitab-kitab yang ditulisnya merupakan prasasti ilmu bagi generasi setelahnya. Setidaknya, terdapat 7 karya penting dari beliau, menurut Abu Hamid dalam bukunya Syekh Yusuf seorang Ulama, Sufi dan Pejuang menyebutkan 7 kitab tersebut adalah:

1. Kaifiyat al-munghi Wal Istbath
2. Safinat an-Najat
3. Hablu al-warid li Sa’adat al-Murid
4. al-Barakat as-Sailaniyah
5. an-Nafhati as-Sailaniyah
6. Mathalib as-Salikin
7. Risalat Ghayah al-Ikhtisar

Berbeda dengan Abu Hamid, Nabilah Lubis dalam Syekh Yusuf al-Taj Khalwati al-Makassari menemukan sedikitnya 25 kitab karangannya yang di tulis era Banten dan Ceylon.

Terlepas dari perdebatan berapa jumlah pasti karya Syekh Yusuf, yang pasti masih banyak yang tersisa dari Syekh Yusuf, baik berupa semangat perjuangannya menumpas kedzoliman, maupun belantara ilmu yang masih tercecer.

Tinggal bagaimana kita saja, apakah kita bersedia mengais untuk memunguti keutamaan, kearifan, keteladanan, dan ilmu-ilmu dari beliau. Atau malah kita melupakan dengan menggusur bangunan makamnya karena dipenuhi oleh dampak yang dinilai kurang baik dan diganti dengan Mall atau hotel, seperti yang dilakukan oleh Saudi terhadap tempat bersejarah yang terdapat di Makkah.

Sumber: BuntetPesantren.org

Opu Daeng Risaju

“Kalau hanya karena adanya darah bangsawan mengalir dalam tubuhku sehingga saya harus meninggalkan partaiku dan berhenti melakukan gerakanku, irislah dadaku dan keluarkanlah darah bangsawan itu dari dalam tubuhku, supaya datu dan hadat tidak terhina kalau saya diperlakukan tidak sepantasnya.” (Opu Daeng Risaju,Ketua PSII Palopo 1930)

Itulah penggalan kalimat yang diucapkan Opu Daeng Risaju,seorang tokoh pejuang perempuan yang menjadi pelopor gerakan Partai Sarikat Islam yang menentang kolonialisme Belanda waktu itu,ketika Datu Luwu Andi Kambo membujuknya dengan berkata “Sebenarnya tidak ada kepentingan kami mencampuri urusanmu, selain karena dalam tubuhmu mengalir darah “kedatuan,” sehingga kalau engkau diperlakukan tidak sesuai dengan martabat kebangsawananmu, kami dan para anggota Dewan Hadat pun turut terhina. Karena itu, kasihanilah kami, tinggalkanlah partaimu itu!”(Mustari Busra,hal 133).Namun Opu Daeng Risaju,rela menanggalkan gelar kebangsawanannya serta harus dijebloskan kedalam penjara selama 3 bulan oleh Belanda dan harus bercerai dengan suaminya yang tidak bisa menerima aktivitasnya.Semangat perlawanannya untuk melihat rakyatnya keluar dari cengkraman penjajahan membuat dia rela mengorbankan dirinya.
Perempuan fenomenal ini,memiliki nama kecil Famajjah.Ia dilahirkan di Palopo pada tahun 1880,ia hasil perkawinan antara antara Opu Daeng Mawelu dengan Muhammad Abdullah To Bareseng.Opu Daeng Mawelu adalah anak dari Opu Daeng Mallongi,sedangkan Opu Daeng Mallogi adalah anak dari Petta Puji.Petta Puji adalah anak dari La Makkasau Petta I Kera,sedangkan La Makkasau Petta I Kera adalah anak Raja Bone ke 22 La Temmasonge Matinroe Ri Mallimongeng (memerintah tahun 1749-1775) dari hasil perkawinannya dengan Bau Habibah puteri Syek Yusuf Tuanta Salamaka ri Gowa.La Temmassonge Matinroe Ri Mallimongeng adalah putera Raja Bone ke 16 La Patau Matanna Tikka (memerintah antara tahun 1696-1714) dari hasil perkawinannya dengan We Ummu Datu Larompong puteri Datu Luwu Matinroe Ri Tompo Tikka.dari silsilah keturunan Opu Daeng Risaju tersebut, maka dapat dikatakan bahwa ia berasal dari keturunan raja-raja Tellumpoccoe Maraja,yaitu:Gowa,Bone dan Luwu.(Muh.Arfah & Muh.Amir:Biografi Pahlawan:Opu daeng Risaju,hal 39).
Fammajah adalah seorang gadis hitam manis yang lincah dan berwajah serius,Ia banyak mengisi masa kecilnya dengan menamatkan Al-Quran,mempelajari fiqih dari buku yang ditulis tangan sendiri oleh Khatib Sulaiman Datuk Patimang,atas bimbingan seorang ulama dan beberapa orang guru agama.Selain itu ia mempelajari nahwu,syara dan balaqhah,yang merupakan dasar bagi pengkajian ilmu-ilmu agama yang lebih tinggi.Pengetahuan tentang baca tulis huruf Latin berkat ketekunannya sendiri.Lain halnya dengan tokoh-tokoh pelopor wanita lainnya sperti Raden Ajeng Kartini, Dewi Sartika,Maria Walanda Maramis,Rasuna Said dan lain-lain setidaknya mempunyai pendidikan formal tingkat menengah.Opu Daeng Risaju tidak pernah diasuh dibangku sekolah atau belajar secara formal dari pendidikan buatan Hindia Belanda.


***
Pertemuannya dengan Haji Agus Salim ketika beliau datang berkunjung ke beberapa daerah di Sulawesi Selatan dalam rangka konferensi Partai Sarekat Islam di Pare-pare,membekas dalam ingatan Opu Daeng Risaju.Kesamaan cita-cita untuk meningkatkan kesejahteraan bumiputera dan melepaskan dari cengkraman penjajah Belanda yang dijelaskan oleh Haji Agus Salim sebagai tujuan pendirian Partai Sarikat Islam,membuat Opu Daeng Risaju semakin bersemangat untuk berjuang.
Setelah berhasil mempropagandakan PSII kepada keluarga, sahabat dan masyarakat di Palopo, Opu Daeng Risaju bersama Achmad Tjambang, Beddu, Tjukkuru Daeng Manompo, Daeng Malewa, Ambo Rasia, Ambo Baso, Imam Buntu Siapa, Parakkasi, Sigoni, dan Mudhan, mempermaklumatkan berdirinya PSII Cabang Palopo dalam suatu rapat umum. Opu Daeng Risaju sendiri bertindak sebagai ketua, dibantu sekretaris Achmad Cambang dan bendahara Mudhan.
Permakluman berdirinya PSII ini tentu saja menggelisahkan para pejabat Belanda dan pembesar-pembesar kerajaan, termasuk raja Luwu sendiri. Mereka khawatir karena PSII ketika itu telah mengambil kebijaksanan yang bersifat noncooperatif dengan pemerintah, Dan, apa yang mereka khawatirkan itu memang terbukti dikemudian hari. Opu Daeng Risaju bersama dengan teman-temannya menempuh pula kebijaksanaan noncooperatif dengan penguasa Belanda dan bahkan dengan penguasa kerajaan. Sikap noncooperatifnya inilah yang pada akhirnya menjebloskannya ke dalam penjara Belanda. 
Tak lama sesudah diresmikan berdirinya, PSII berkembang dengan pesat dan berhasil membuka ranting di beberapa daerah dalam wilayah kerajaan Luwu. Salah satu rantingnya adalah Malangke. Pada akhir tahun 1930, pengurus dan anggota PSII Ranting Malangke mengundang Opu Daeng Risaju untuk berbicara dalam suatu rapat umum. Pembicaraan Opu Daeng Risaju dalam kesempatan itu dinilai oleh kepala Distrik Malangke sebagai suatu pidato propokatif yang menghasut rakyat untuk tidak taat kepada pemerintah. Kepala distrik Malangke segera melaporkan hal itu kepada kontroleur di Masamba. Atas laporan tersebut dikerahkanlah polisi untuk menangkapnya dan membawanya ke Palopo untuk diperhadapkan ke pengadilan. Tetapi, sebelum diadili ¾ atas dasar pertimbangan kemanusian karena dia perempuan dan seorang bangsawan tinggi ¾ Assisiten Resident Luwu meminta dulu kepada Datu Luwu Andi Kambo, agar membujuknya supaya meninggalkan partainya dan menghentikan kegiatan politiknya. Kalau bersedia maka dia akan dibebaskan dari segala tuntutan.Namun ia menolaknya,itulah yang menyebabkan dia harus dijebloskan dalam penjara Belanda.
Opu Daeng Risaju adalah seorang perempuan Bugis yang meletakkan makna konsistensi perjuangan dalam dirinya.Opu Daeng Risaju adalah seorang social agency (agen perubahan social), menurut Lyod (1999:93-95),dalam satu masyarakat selalu terdapat apa yang disebut sebagai social agency,yakni ”individu” atau ”kelompok” otonomis yang berada dan menjadi bagian masyarakat tetapi mempunyai power,authority, dan kharisma untuk bertindak sebagai ”aktor” yang mengatur dan mengendalikan perubahan yang terjadi dalam masyarakat.Besar kecilnya authority yang dimilikinya,tergantung pada kemampuan masing-masing.Besar kecilnya power yang mereka miliki tergantung pada kedudukannya dalam struktur sosial, baik formal maupun non formal.Adapun kharisma yang dimiliki social agency tentu biasanya bersifat irasional, namun selalu juga terkait dengan authority dan power.Makin tinggi posisi dan kedudukan seseorang dalam struktur, makin tinggi pula authority, power, dan kharismanya.
Opu Daeng Risaju adalah potret nyata eksistensi perempuan Sulawesi Selatan dalam menggerakkan realitas sosial masyarakatnya justru ketika bangsa ini masih berada dalam cengkraman penjajahan Belanda.Ia begitu teguh dengan keyakinannya seolah mengingatkan kita pada pada Joan D Ard,perempuan Prancis yang memimpin peperangan dalam melawan Inggris pada abad pertengahan.Opu Daeng Risaju adalah potret nilai konsistensi manusia dalam memperjuangan rakyat yang masih memiliki relevansi dengan kondisi kekinian.Juga refleksi bagi tokoh-tokoh agama hari ini untuk lebih memposisikan diri dibarisan terdepan dalam membela kepentingan ummat agar bebas dari pembodohan,kemiskinan,dan kezaliman.

Kronologis:
1880 : Lahir di Palopo
1912 : Berdirinya Sarekat Islam di Solo
1913 : Berdirinya Sarekat Islam di Makassar
1913 : Kongres Sarikat Islam Pertama di Surabaya
1914 : Berdirinya Sarikat Islam Cabang Mandar di Pamboang
1921 : Berdirinya Sarikat Islam Cabang Sinjai
1927 : Opu daeng Risaju menjadi anggota SI cabang Pare-Pare
1928 : Berdirinya Sarikat Islam Cabang Barru
1929 : Berdirnya Sarikat Islam Cabang Pambusuang
1929 : Kelompok Pappadang (kelompok padagang Mandar) mendirikan Sarikat Mandar di Padang Sumatera Barat.
1929 : Perubahan nama dari Sarikat Islam ke Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII)
1930 : PSII menerima 3 anggota baru dari golongan Adat yang potensial yakni: Andi Abdul Kadir anggota Swapraja Tanete/Barru, Datu Hj.Andi Ninnong anggota Swapraja Wajo dan Opu Daeng Risaju anggota Swapraja Luwu.
1930 : Pendirian Cabang PSII Cabang Luwu,Wajo dan Tanete/Barru
1930: Opu Daeng Risaju menghadiri Kongres PSII di Pare-Pare.Bertemu dengan pengurus Pusat PSII H.Agus Salim dan A.M.Sangaji.
1930: Opu daeng Risaju mendirikan ranting PSII di Malangke sebagai bagian dari Cabang PSII Luwu.
1930: Aktivitas radikal di PSII membuat Belanda menjatuhkan vonis 13 bulan penjara untuk Opu Daeng Risaju.
1930: Penangkapan Opu Daeng Risaju menyulut solidaritas rakyat bahkan membuat PSII semakin bekembang.
1932: Mendirikan Ranting PSII di Malili
1932: Ditangkap bersama suaminya H.Muhammad Daud di distrik Pitumpanua.Selanjutnya mereka dibawa ke Kolaka.Kemudian di bawa lagi Palopo.
1932: Mendapat Sangsi Adat dengan pencoptan gelar kebangsawanan karena tidak menghentikan aktivitas perjuangannya.Dan bercerai dengan suaminya karena suaminya mendapat tekanan kelompok adat dan Belanda waktu itu.
1933: Berangkat ke Jawa mengikuti Kongres Majelis Taklim PSII di Batavia (Jakarta)
1934: Mendapat hukuman penjara 14 bulan
1935: Datu Luwu Andi Kambo Daeng Risompa meninggal dunia dan digantikan Datu Andi Jemma yang lebih pro pada perjuangan Opu Daeng Risaju.
1942: Sulawesi Selatan resmi dikuasai oleh Jepang.Pelarangan semua organisasi sosial maupun politik termasuk PSII oleh rezim Jepang.
1942: Pembunuhan Ahmad Cambbang salah satu tokoh PSII Luwu karena penentangan terhadap kebijakan Jepang.
1945:Kemerdekaan Indonesia dan Jepang menyerah pada sekutu.
1946:Anggota PSII dan kelompok pemuda melakukan perlawanan terhadap NICA atas instruksi dari Opu Daeng Risaju.Mereka menyerang pusat kegiatan NICA di Bajo Palopo Selatan.
1946:Nica melakukan serangan balasan ke Belopa serta memburuh Opu Deang Risaju yang dianggap sebagai penggerak perlawanan rakyat.
1947:Opu Daeng Risaju ditangkap di Bone oleh NICA.dan dihukum 11 bulan penjara.
1949:Opu Daeng Risaju tinggal di Pare-Pare ikut anaknya H.Abdul Kadir Daud
1959:Pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia No.227/P.K. tertanggal 26 Februari 1959 memberikan tunjangan penghargaan pada Opu Daeng Risaju dari Palopo sesuai dengan PP No 38 
1964: Opu Daeng Risaju menghembuskan nafas terakhir dan dikuburkan di perkuburan Raja-Raja Lakkoe di Palopo, tanpa ada upacara kehormatan sebagaimana lazimnya seorang pahlawan yang meninggal.

Manusia Bugis di Madagascar

Madagascar dengan ibukotanya Antananarivo dengan populasi 18,6 juta jiwa kita kenal sebagai sebuah negeri bekas koloni Perancis, yang berdaulat pada tahun 1947 atau lebih tepat kita katakan sebuah Kemerdekaan Hadiah, bukan sebuah kemenangan revolusi.
Tetapi dalam proses/perjalanan konstitusi dan referendum Negara baru secara penuh ditetapkan tanggal 26 Juni 1960 sebagai Hari Kemerdekaan Madagascar. Nama Antananarivo sendiri bermakna TANAH 1000 pejuang, terukir melalui relief di gedung museum sejarah mereka ada 1000 pejuang yang tewas ketika mempertahankan kota dalam memperjuangkan kemerdekaan yang mereka tuntut pada masa itu.
Negeri yang dalam cerita lama lebih kita kenal melalui film RIN TINTIN cerita seekor anjing yang pintar (pada zaman TV masih B&W) sebagai pulau buangan para hukuman dengan luas pantainya sebesar 5000 km, cukup terkenal dengan kekayaan alamnya berupa batu permata, minyak-bumi, uranium.
Dari sinilah para pedagang dunia dari Eropa, Thailand, China, Sri-lanka, Malaysia dan Indonesia mengambil batu mulia sejenis Syafir Ruby & Emerald serta fosil kerang panca-warna berusia jutaan tahun yang bagi masyarakat China Hongkong rela membayar mahal dan selalu dikantongi sebagai pembawa rezeki & keberuntungan.
Sejarah mengukir pada zaman abad ke VII SM, Madagascar menjadi pulau tujuan dan persinggahan bahari nenek moyang pelaut Indonesia selain wilayah pesisir yang dihuni oleh kaum kulit hitam yang tidak jelas asal usulnya, sebagian menyebutnya dari Mozambique, sebuah pulau yang hanya terpisah sejarak benang tipis saja.
Inilah awal sejarah mengapa orang Madagascar lebih senang disebut bangsa Malagassy daripada bangsa Africa. Memang kalau kita melihat mereka tidak ada bedanya dengan orang Indonesia, warna kulit yang sawo matang, rambut yang ikal (tidak ngerungkel) seperti Africa pada umumnya dan postur badan Indonesia yang sedang-sedang saja dengan sorot mata khas Indonesia yang aduhai friendly.
Anda bisa lihat photo President Madagascar Marc Ravalomanana sama persis postur & bentuk wajahnya dengan orang Indonesia pada umumnya.
Siapa Marc, yang dalam kepiawaiannya digelanggang politik melalui pemilu 2002, Marc berkiblat dibawah panji Amerika yang memberi dukungan penuh ketika mengambil-alih kekuasaan sosialis dari penguasa lama, dan dia membawa perubahan demokrasi secara perlahan serta pemikiran yang maju untuk mencerdaskan rakyatnya. Dibawah kebijakannya pula dalam 10 tahun terakhir ini Bahasa Inggris menjadi mata pelajaran bahasa wajib dalam kurikulum pendidikan.
Secara resmi ada 2 bahasa official, bahasa Perancis mereka pakai sebagai bahasa kedua dan bahasa nasional mereka disebut Bahasa Merina dengan dialek Malagasy (campuran bahasa Melayu Indonesia). Awalnya Marc hanyalah seorang pengusaha trading/distribution consumer goods yang mengawali karirnya sebagai Walikota Tananarive dan sampai detik ini gurita bisnis sang presiden mulai mendominasi pangsa pasar consumer goods dari hulu sampai hilir.
Kembali kita ke awal cerita …
Dan memang dalam catatan sejarah Madagascar, mereka mengakui bahwa para leluhur mereka memang datang dari kepulauan Indonesia
(Indonesia Timur dan Pulau Jawa). Sejarah ini juga tertulis di KBRI kita di Antananarivo.
Kalau melihat sejarah kelautan Madagascar dengan kehidupan budaya nelayannya ada dugaan suku BUGIS atau Makasar dan suku JAWA yang pertama menemukan kepulauan ini pada abad ke VII SM tersebut.
Kata Makasar dipakai untuk sebutan bagi para seniman, pelukis dan pemahat – juru photo. Penulis belum menemukan apakah kata Madagascar berasal dari kata Makasar yang kemudian berubah karena pengaruh bahasa koloni Perancis. Dari sisi bahasa bisa pula ditelusuri banyak ditemukan kosa kata indonesia dan dialek daerah yang sama seperti (Joko/Jaka Rondo/janda-mambunuh-murah-salam-manjahit-minakan = dibaca makan-tai (maaf)=tai, bolo=dibaca bulu dll) untuk bilangan hitungan sama dengan bahasa jawa > Sidji – Loro – Telu – opat – limo dan seterusnya.
Berkaitan dengan bahasa ini, seorang Missionaris WNI dari Vatican Imprimerie Chatolic Romo Dosmen D. Marbun, telah menerbitkan sebuah buku percakapan pada 2006 lalu yang diakui KBRI & Kementerian Pendidikan & Budaya Madagascar, sebagai pembuktian Sejarah & Budaya. Bahwa Indonesia & Madagascar memang terkait erat, hubungan ini sampai saat ini terus berkesinabungan melalui pentas budaya, pendidikan beasiswa D1-S1 dan S2 yang tersebar di PTN di Jawa & SESKO AD.
Tercatat juga ada 2 Jendral dari Angkatan Bersenjata Madagascar yang merupakan Alumni Sesko-AD, Bandung dan 1 orang scholar Master di bidang agama Islam yang saat ini bekerja sebagai staff local di KBRI Antananarivo.
Dalam perjalanannya, KBRI kita juga membuka kursus Bahasa Indonesia dengan biaya relative murah dan cukup diminati generasi muda Malagasy. Kursus ini dibina dengan sangat baik oleh Drs. Adi Roagaswara, seorang alumni dari Universitas Pakuan Bogor. Uniknya di Mada (Maksudnya: Madagascar) berlaku 2 pemisahan asal, kita bisa melihat sebuah kondisi adanya 2 kasta yang berbeda, untuk Malagasy keturunan Indonesia dengan warna kulit yang sawo matang mereka sebut dirinya orang Tananarive (orang Kota), sedangkan orang Malagasy hitam dari keturunan Africa disebut orang pantai.
Dan untuk di pemerintahan pada umumnya didominasi orang Tananarive, orang pesisir pada umumnya banyak yang bekerja sebagai pedagang/kuli kasar dan comunitas mereka dalam catur pemerintahan/politik selalu di nomor-dua-kan oleh kaum berkuasa orang Tananarive.
Kesenjangan social memang cukup terlihat antara kaum Tananarive dan kaum pesisir. Sebuah celah dan potensi mudahnya membakar mereka yang dimanfaatkan oleh para pemain/konseptor catur politik dunia “AMERIKA“ karena kesenjangan inilah orang pantai membentuk aliansi politik sebagai partai oposisi.
Adalagi yang menarik dari orang Malagasy, banyak diantara orang Tananarive yang menikah dengan orang perancis dan keturunan mereka disebut Malagasy Methys, wajahnya sangat rupawan menawan dan umumnya diantara mereka banyak yang sukses dalam karir Business & Politik.
Namun demikian Madagascar masih tercatat dalam urutan ke-25 sebagai negara termiskin se-Africa yang beresiko tinggi untuk menjalin mitra business bagi investasi asing (Data survey 2005 African News).
DIEGO SUAREZ & SAINTE MARIE, adalah 2 pulau wisata yang sangat indah dan menawan atau dikenal juga dikalangan masyarakat Eropa sebagai pulau BALI-nya Madagascar.
Kedua pulau ini memberikan kontribusi bagi devisa negara dari kunjungan wisatawan dari manca negara … untuk sampai kesana via udara + – 1jam perjalanan atau 10 jam perjalanan via darat dari Antananarivo atau tepatnya kota wisata ini berada 3 jam perjalanan darat via Tamatave.
Jika kita berkunjung ke Diego Suarez ada pemandangan yang terasa janggal bagi kita dimana mana kita akan melihat PRIA TUA ber-usia 40 s/d 50 tahunan yang bergandengan tangan dengan dara dara muda belia seusia 15 tahunan … sesungguhnya mereka adalah pasangan suami istri .
Disini ada tradisi yang sudah mengakar para lelakinya selalu kawin dalam usia tua dengan gadis gadis muda yang masih begitu ranum & mengkal (emangnya mangga muda eeehhh).
Memang ada Alkisahnya kata yang empunya cerita … bahwa para pria di Diego Suarez termakan oleh kutukan para leluhurnya (di Mada kepercayaan Animisme/traditional masih mendominasi 50 % dari kepercayaan yang ada/Islam hanya 10 % dan 40% Kristen & Katolik ) dan sampai saat ini kehidupan SEX bebas masih menjadi tradisi umum yang dianggap sebagai hal biasa biasa saja dan kondisi ini jugalah yang menyebabkan AIDS tumbuh laksana jamur, adalah hal yang biasa anak dara seusia 12 tahunan sudah bukan perawan lagi.
Sementara untuk di SAINTE MARIE sendiri … dalam setiap bulan Sept s/d Des selalu dikunjungi wisatawan, ada yang unik disini… kalau di Indonesia kita tidak diperbolehkan untuk melihat ORANG KAWIN yang sedang berhubungan intim, maka di Saint Marie kita bisa melihat banyak IKAN PAUS yang sedang bercinta di dalam air (tanpa busana lagi eeehhh) jadi setiap 3 bulan dalam setahun ikan paus memasuki perairan Saint Marie untuk melakukan prosesi KAWIN MASSAL sesama paus betina, dan adegan ini bisa disaksikan para wisatawan dalam jarak 50 meter dari atas palka kapal wisata mungkin ada rasa malu diantara mereka kalau mereka kawin kita saksikan dalam jarak yang terlalu dekat, budaya paus-kawin ini tidak memerlukan tuan Kadhi eeehhh, cukup kesaksian para penonton.
Mempelajari kebiasan mereka (Ikan Paus-Kawin) yang selalu mudik untuk kawin ke Sainte Marie mungkin bagi mereka perairan ini begitu indahnya laksana sebuah peraduan pelaminan pengantin baru para selebritis.
Disini juga ada sebuah Hotel Terapung yang berada ditengah danau dangkal dan jika kita menginap disana kita harus berjalan di air sedalam 30 s/d 50 cm sembari menjunjung kopor , jadi bisa dibayangkan juga seandainya ada Tsunami disana bisa bisa kita terbawa harus kembali ke Ancol …siapa tauuuuuuuu. (ketika terjadi Tsunami di Indonesia, Madagascar tepatnya di Tamatave juga mengalami hal yang sama tetapi hanya tercatat beberapa orang saja korban dari kaum nelayan).
Bagi wisatawan yang berkantong tipis ada alternatif lain untuk menginap ditempat yang relatif lebih terjangkau seperti menginap di pondok pinggir pantai dibelahan sudut lain Sainte Marie yang disekeliling nya bertumbuhan pohon kelapa dan kalau lagi apes bisa bisa ketimpa buah kelapa tua yang jatuh diatap pondok penginapan . Tidaklah mengherankan setiap wisatawan yang datang dan menginap di pondok yang disampingnya ada pohon kelapa, sang receptionist selalu mengingatkan ketika ketika bercinta, jangan membuat gempa terlalu kuat agar kelapanya tidak jatuh berguguran (eeehhh ada ada aja mas.. ayoooo mas, siapa yang pingin bermain main dibawah pohon kelapa?).
Pernah pula sebuah kejadian lucu saya alami, dimana kebetulan hobby saya bercocok tanam bunga dan saya meminta pembantu saya waktu itu yang notabene masih anak dara tersebut untuk menanamnya, saya katakan: “tolong tanamkan bibit ini…” Dia pun mengerjakannya sambil tersipu-sipu malu, saya antara bingung dan ingin tau ada apa rupanya, akhirnya dia jelaskan kalau pengertian “BIBIT” adalah sebutan buat “PUSAKA” warisan ayah.
Jadi anda bisa bayangkan kalaulah ada Diplomat Indonesia yang bertugas di KBRI Madagascar dengan nama BIBIT JOKO WALUYO maka pasti orang tersebut akan menjadi sumber lelucon bagi orang Malagassy. (Bibit = kemaluan lelaki + Joko = jejaka ) alahhhhhhhh mak…!
Di lain kisah …. anda pasti mengenal Nirina Zubir sang presenter & artis yang lagi meroket saat ini menuju jenjang DIPA Indonesia.
Bagi Nirina Zubir, kota Antananarivo tidak akan pernah terlupakan, karena disinilah dia dilahirkan, ketika ayahnya bertugas sebagai Diplomat KBRI Madagascar. Nirina sendiri bermakna: Putri Cantik Pemalu.
Dari temuan literatur sejarah Bahari ada sekelumit noktah indah yang berharga bahwa :
Untuk mengenang sejarah Samudra Bahari Indonesia yang telah diukir para leluhur kita para PELAUT muda Indonesia melakukan Napak Tilas Samudra dari Indonesia ke Madagascar dengan perahu layar :
1. Ekspedisi kapal layar SARIMANOK pada tahun 1985
2. Ekspedisi kapal layar AMANAGAPPA pada tahun 1991
3. Ekspedisi kapal layar SAMUDERA RAKSA BOROBUDUR pada tahun 2003
Anda bisa bayangkan Napak Tilas Samudera hanya dengan perahu layar sebuah perjalanan membosankan & melelahkan dengan resiko tinggi. Memang Tuhan melindungi perjalanan ini terukir sukses sesuai harapan para pelaut kita. Untuk Ekspedisi ke-3 Samudera Raksa Borobudur ini disambut langsung oleh Dubes Indonesia & President Marc Ravalomanana beserta Menteri Kebudayaan Republik Madagascar sebagai suatu kehormatan.
Kalau di Indonesia kita memiliki sebuah Pohon Nasional “Beringin“ yang dulu kita kenal sebagai sebuah symbol Partai Sangat Berkuasa demikian juga bagi suku Mayan di Guatemala yang sangat memuja pohon nasional mereka “Ceiba Tree“ maka rakyat Madagascar juga memiliki Pohon Nasional yang mereka lindungi “Bao Bao“ pohon ini sejenis palm bisa tumbuh dan bertahan puluhan tahun bentuknya menjulang tinggi dengan ranting & daun yang sedikit…cukup unik. Dan jangan heran berbagai jenis bunga yang popular di Indonesia dengan harga puluhan juta rupiah banyak berserak dipinggir jalan pegunungan batu Madagascar disepanjang jalan menuju Tamatave (Saya hanya bisa tertawa getir menyaksikan istri membayar mahal satu pot bunga gelombang cinta) yang di Mada sendiri terlihat tumbuh liar dipinggir jalan.
Ada satu jenis lagi sebuah pohon hias dengan duri dan getah putih yang banyak cukup popular di Jakarta, padahal pohon ini di Mada ditanam didepan pagar yang diyakini mereka sebagai penangkal setan & guna-guna.
Demikianlah sekelumit cerita dari saya sebagai santapan mata anda dikala senggang dan mohon maaf jika ada torehan pena yang salah. Karena memang dituntaskan dari sebuah komputer Pentium III-tua yang sudah usang. Salam setepak sirih sejuta pesan – dari Bumi Kinshasa Congo : Erfan Ahmad Piliang.
 
Sabtu, 12 Desember 2009
Sumber: Pralangga.Org.

Migrasi Bugis di Sabah


KISAH AWAL KAUM BUGIS DI SABAH

Oleh : Nordin Bula

Suku kaum Bugis merupakan salah satu etnik yang terdapat di dalam kelompok ras berbilang bangsa di negeri Sabah. Kebanyakan suku kaum ini telah menetap di pantai Timur Sabah iaitu di daerah Tawau, Semporna, Kunak dan Lahad Datu.
Dari aspek sosial, suku kaum ini lebih terkenal dengan kerabat pangkat diraja (keturunan dara), mementingkan soal status individu dan persaudaraan sesama keluarga. Dari segi perkahwinan,suku kaum ini lebih suka menjalinkan perkahwinan dengan keluarga terdekat dan perceraian pula merupakan hubungan sosial yang amat tidak disukai oleh suku kaum ini kerana ia meruntuhkan hubungan kekeluargaan dan bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Pada dasarnya, suku kaum ini kebanyakannya beragama Islam Dari segi aspek budaya, suku kaum Bugis menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai ‘Bahasa Ugi’ dan mempunyai tulisan huruf Bugis yang dipanggil “aksara” Bugis. Aksara ini telah wujud sejak abad ke-12 lagi sewaktu melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia.
Sejarah kedatangan suku kaum Bugis di Sabah (Tawau khususnya) berkaitan dengan sejarah penerokaan Tawau. Adalah dipercayai suku kaum ini telah meninggalkan Kepulauan Sulawesi menuju ke Pulau Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaysia, Kalimantan dan Borneo sejak abad ke-16 lagi.
Tahun 1840 dijadikan sebagai fakta kukuh untuk menyatakan tempat permulaan penerokaan Tawau oleh suku kaum Bugis. Penempatan awal oleh suku kaum Bugis ini bermula di kawasan yang dikenali sebagai Ranggu. Ini bermakna suku kaum Bugis sudah pun menerokai kawasan Tawau dan menjadikan Ranggu sebagai salah satu destinasi untuk berulang-alik ke Indonesia menjadi pedagang dan membawa masuk pekerja buruh ke ladang-ladang milik kerajaan British ketika itu. Apapun, Ranggu diasaskan oleh nenek Penghulu K.K. Salim di Kampung Sungai Imam, Bombalai.
Kemudian seorang lagi bangsa Bugis dari kerabat diraja Bone bernama Petta Senong menetap di Sungai Imam, Bombalai. Usaha mereka ketika itu adalah sebagai orang upahan kepada Kerajaan Sulu untuk menghapuskan sebanyak mungkin lanun-lanun yang bergerak di perairan Laut Sulu, Borneo.
Kemudian, beberapa kawasan baru terus diterokai oleh suku kaum Bugis dan kawasan yang termasuk dalam tapak pembangunan Bandar Tawau. Antara suku kaum Bugis yang terlibat dalam penerokaan bandar Tawau ialah Puang Ado, Daeng Mappata, Wak Neke, Wak Gempe dan Haji Osman.
Konsep siri masiri (malu, menjaga maruah) yang dikaitkan dengan kata-kata suku kaum Bugis antara lainnya :
- “…aja mumaelo’ nabetta taue makkalla ricappa’na lete’ngnge”.
Maksud terjemahannya : Janganlah engkau mahu didahului orang menginjakkan kaki dihujung titian ( Janganlah engkau mahu didahului orang lain untuk mengambil rezeki ).
- “…naia riasengage’ to warrani maperengnge narekko moloio roppo-roppo ri laommu, rewekko paimeng sappa laleng molai”
Maksud terjemahannya : Yang disebut orang berani ialah yang kuat dan unggul bertahan, Jikalau engkau menghadapi rintangan berat yang engkau tak dapat lalui atau atasi, kembalilah memikirkan jalan atau cara untuk mengatasinya.
 
Sabtu, 12 Desember 2009
Sumber:
Dipetik dari Kertas Projek Penyelidikan “Penglibatan Politik Suku Kaum Bugis Satu Kes Kajian di N.46 Merotai, Tawau” oleh Nordin Bula. (Perpustakaan Wilayah Tawau, Peti Surat 775, 91008 Tawau, No.Tel /Faks : 089-760632)